''Aku bertanya kepada bumi, siapa yang melahirkan ibu/ Bumi tersipu, tapi kudengar laut menyahut/ ''Ia bersaksi atas fakta, namun tak berdaya untuk bicara!''/ Aku bertanya kepada laut, siapa yang menampungnya?/ Laut menggelora, tapi kerontang sebelum usai membilang nama...'' (''Osmosa Asal Mula'' karya Sitok Srengenge)
MUSIKALISASI puisi bukan hal baru dalam khasanah kesenian. Banyak musikus dan penyanyi yang telah melakukannya, baik dalam bentuk pementasan maupun rekaman. Di Indonesia, sebut saja nama kelompok Matahari, Bimbo, Ebiet G Ade, dan Leo Kristi. Mereka melantunkan bait-bait puisi dalam sebuah tembang.
Dengan demikian, bukan sesuatu yang mengejutkan manakala Denise Jannah menampilkan musikalisasi puisi di Auditorium RRI Semarang. Tapi tunggu dulu, berbeda dari yang sudah ada, penyanyi kelahiran Suriname itu membawakan puisi dalam irama jaz. Ia tampil dalam konser bertajuk ''Puisi dan Jazz Denise Jannah & Band''.
Puisi karya penyair dari sejumlah negara ia lagukan. Antara lain ''Mal Wega'' karya Elis Juliana (Curacao), ''Waribikiri'' karya Ernesto Rosenstand (Aruba), ''Wan Bari-bari Odi'' karya Michael Flory (Suriname), Wys My Die Plek Waar ons Saam Gestaan Het...'' karya C Louis Leipoldt (Afrika Selatan), ''Voor een Dag van Morgen karya Hans Andreus dan Ra karya Vasalis (Belanda), serta ''Osmosa Asal Mula'' karya penyair Indonesia Sitok Srengenge. Semua itu terangkum dalam album terakhirnya ''Gedicht Gezongen'' (2004).
Menarik sekali menyaksikan gaya penyanyi yang pernah belajar musik di Konservatorium Hilversum Belanda itu di atas pentas. Dengan improvisasi yang matang, Denise tampil lugas dan lepas.
Vokal messo soprannya berkelindan nyaman dengan cabikan gitar Wolf Martini dan kontrabas Tacoo Nieuwenhuizen Segaar, tepukan perkusi Bart Fermie, denting piano Mark Alan Isaacs serta gebukan drum Elfa Zulham Syah Warongan.
Jaz Standar
Puisi-puisi yang ia lagukan punya tema beragam, dari soal cinta, politik, hingga kehidupan. Puisi karya Orlando Emanuels misalnya, bertutur tentang penderitaan rakyat Suriname yang selama 10 tahun berada di bawah rezim militer. ''Meski semua habis kau ratakan dengan tanah, dan bunga-bunga berubah jadi arang, aku tetap akan menari dengan sekuntum anggrek di tangan''.
Tepuk tangan riuh membahana di ruang pertunjukan saat Denise membawakan ''Osmosa Asal Mula'' karya Sitok Srengenge. Meski mengaku tak paham bahasa Indonesia, ia mampu melafalkan kata demi kata dalam puisi itu dengan artikulasi jelas.
Kendati demikian, tak seluruh waktu pertunjukan dihabiskan dengan musikalisasi puisi. Pada sesi kedua, Denise dan kawan-kawan menyajikan tembang-tembang jaz standar seperti ''Georgia on My Mind'', ''Summer Time'', ''One Note Samba'', dan ''My Funy Valentine''.
Sebagai seorang entertainer sejati, penyanyi yang pernah memenangkan first prize pada International Golden Orpheus Festival di Burgas, Bulgaria (1992) itu mampu menguasai panggung pertunjukan. Ia dengan enjoy mengakrabi penonton, berdialog dan bercanda di sela-sela penampilannya. Tak terkecuali saat Denise menyilakan dua penonton, Giri dan Rosalia Ambarwati unjuk kebolehan.
MUSIKALISASI puisi bukan hal baru dalam khasanah kesenian. Banyak musikus dan penyanyi yang telah melakukannya, baik dalam bentuk pementasan maupun rekaman. Di Indonesia, sebut saja nama kelompok Matahari, Bimbo, Ebiet G Ade, dan Leo Kristi. Mereka melantunkan bait-bait puisi dalam sebuah tembang.
Dengan demikian, bukan sesuatu yang mengejutkan manakala Denise Jannah menampilkan musikalisasi puisi di Auditorium RRI Semarang. Tapi tunggu dulu, berbeda dari yang sudah ada, penyanyi kelahiran Suriname itu membawakan puisi dalam irama jaz. Ia tampil dalam konser bertajuk ''Puisi dan Jazz Denise Jannah & Band''.
Puisi karya penyair dari sejumlah negara ia lagukan. Antara lain ''Mal Wega'' karya Elis Juliana (Curacao), ''Waribikiri'' karya Ernesto Rosenstand (Aruba), ''Wan Bari-bari Odi'' karya Michael Flory (Suriname), Wys My Die Plek Waar ons Saam Gestaan Het...'' karya C Louis Leipoldt (Afrika Selatan), ''Voor een Dag van Morgen karya Hans Andreus dan Ra karya Vasalis (Belanda), serta ''Osmosa Asal Mula'' karya penyair Indonesia Sitok Srengenge. Semua itu terangkum dalam album terakhirnya ''Gedicht Gezongen'' (2004).
Menarik sekali menyaksikan gaya penyanyi yang pernah belajar musik di Konservatorium Hilversum Belanda itu di atas pentas. Dengan improvisasi yang matang, Denise tampil lugas dan lepas.
Vokal messo soprannya berkelindan nyaman dengan cabikan gitar Wolf Martini dan kontrabas Tacoo Nieuwenhuizen Segaar, tepukan perkusi Bart Fermie, denting piano Mark Alan Isaacs serta gebukan drum Elfa Zulham Syah Warongan.
Jaz Standar
Puisi-puisi yang ia lagukan punya tema beragam, dari soal cinta, politik, hingga kehidupan. Puisi karya Orlando Emanuels misalnya, bertutur tentang penderitaan rakyat Suriname yang selama 10 tahun berada di bawah rezim militer. ''Meski semua habis kau ratakan dengan tanah, dan bunga-bunga berubah jadi arang, aku tetap akan menari dengan sekuntum anggrek di tangan''.
Tepuk tangan riuh membahana di ruang pertunjukan saat Denise membawakan ''Osmosa Asal Mula'' karya Sitok Srengenge. Meski mengaku tak paham bahasa Indonesia, ia mampu melafalkan kata demi kata dalam puisi itu dengan artikulasi jelas.
Kendati demikian, tak seluruh waktu pertunjukan dihabiskan dengan musikalisasi puisi. Pada sesi kedua, Denise dan kawan-kawan menyajikan tembang-tembang jaz standar seperti ''Georgia on My Mind'', ''Summer Time'', ''One Note Samba'', dan ''My Funy Valentine''.
Sebagai seorang entertainer sejati, penyanyi yang pernah memenangkan first prize pada International Golden Orpheus Festival di Burgas, Bulgaria (1992) itu mampu menguasai panggung pertunjukan. Ia dengan enjoy mengakrabi penonton, berdialog dan bercanda di sela-sela penampilannya. Tak terkecuali saat Denise menyilakan dua penonton, Giri dan Rosalia Ambarwati unjuk kebolehan.
Artikel ini disunting dari Suara Merdeka
1 komentar:
konsistensi, go poetry hehehhe
Posting Komentar