Berakar puisi, musikalisasi puisi tak seharusnya dijadikan pembanding bagi karya itu sendiri. Dua-duanya —dibaca maupun dilagukan dengan gubahan, sama-sama sulit. Tidak sama dengan membuat lirik dalam musik konvensional, tidak sesederhana menyesuaikan lirik dengan notasi yang sudah ada, imajinasi musik hanya akan lahir jika dapat memahami puisi.

Komposisi Seperti Angin; ”Penyimpangan” Musikalisasi Puisi?

Bahwasannya puisi telah memiliki unsur musikalitas. Untuk melagukannya, tentu saja harus sesuai atau seirama dengan nada-nada yang terkandung di dalam puisi itu sendiri.

Bagi beberapa ”tokoh” pemusikalisasi puisi, aturan baku itu pastinya tetap dipegang teguh. Dan puisi hingga kini, masih saja dianggap sakral sehingga dalam memusikalisasikannya haruslah sesuai dengan ”aturan-aturan” yang ada.

Di satu sisi, saya cukup sepakat dengan pendapat ini. Pesan yang terkandung dalam puisi tidaklah boleh dirusak atau dihilangkan ketika memusikalisasikannya. Tapi bagi saya, ini tidak berlaku dalam menentukan jenis musiknya. Untuk menjadikan musikalisasi puisi sebagai ”barang berharga” dan dapat diterima masyarakat luas, para penyair harus mengikhlaskan dirinya. Artinya penyair harus merelakan puisinya ”dibongkar”, tapi dengan catatan tidak menghapus pesan yang terkandung dalam puisi itu sendiri.

Inilah yang kemudian dilakukan teman-teman yang suntuk bergelut dalam dunia musikalisasi puisi. Kelompok Penyanyi Sakit Jiwa, misalnya. Lagu-lagu musikalisasi puisi yang dirangkum dalam album Komposisi Seperti Angin ini cukup membawa angin segar dalam dunia musikalisasi puisi (ini menurut pengakuan beberapa kawan yang sempat mendapatkan album itu, bukan lantaran saya adalah salah satu anggota Kelompok Penyanyi Sakit Jiwa) di Bali. ”Penyimpangan” yang kami lakukan adalah suatu bentuk pemberontakan kreatif atas ”kesakralan” puisi itu sendiri. Beberapa puisi yang dilagukan, dibawakan dengan irama pop, country, balada, sampai dangdut. Hasilnya, menurut survey kecil-kecilan yang kami lakukan, masyarakat, terutama para pelajar SMP dan SMA, mulai tertarik untuk menciptakan sebuah kelompok musikalisasi puisi. Ah, sungguh sesuatu yang menggembirakan.....

Demikian pula yang dilakukan kawan-kawan Lab Musik Jakarta. tahun 2005 silam. Kami berkesempatan mengikuti Festival Gending Nusantara di Yogjakarta. Dan kebetulan, kami satu panggung dengan mereka di Goedang Musik (menurut orang-orang, tempat itu adalah semacam diskotek khusus anak-anak sekolahan. Dan kabarnya, gedung itu sekarang runtuh akibat gempa dasyat lalu). Kami yang mulanya sangat patuh dan ”tunduk” terhadap pakem musikalisasi puisi cukup tersentak melihat musikalisasi puisi yang mereka bawakan. Kaya warna dengan eksploitasi musik yang luar biasa! Dan satu lagi yang membuat kami tercengang, respon penonton sungguh di luar dugaan. Mereka bersorak dan menyambut baik pementasan Lab Musik Jakarta. Lantas apa yang dapat ditangkap dari peristiwa itu?

Bahwasannya musikalisasi puisi bukanlah sesuatu yang sakral. Ia bisa hadir dan menjadi bagian dalam minat seni musik masyarakat. Dan musikalisasi puisi seharusnyalah memiliki kekuatan untuk mendobrak dunia musik itu sendiri. Tentunya dengan catatan, kesakralan puisi itu harus didobrak. Tidak harus berpegang pada sesuai atau tidaknya musikasilasi itu dengan nilai-nilai musikalitas yang dikandungnya. Kalau demikian keadaannya, saya dan kawan-kawan di Kelompok Penyanyi Sakit Jiwa sepakat dan lebih memilih untuk mendobrak ”kesakralan” puisi itu melalui pemberontakan-pemberontakan kreatif atas musikalisasi itu sendiri!

Wendra Wijaya

0 komentar:

Penyanyi Sakit Jiwa © 2008. This blog is wearing Sederhana, a free XML Blogger Template adopted from Oh My Grid - WP theme by Thomas Arie
Converted to Blogger by Gre [Template-Godown]